CERITAKU TENTANG PUPUTAN
oleh: Anindya Akifah Naila siswa SMP N 1 Karangreja Lubuk hatiku berbinar bahagia tepatnya di bulan November tahun 2018 saat ibu memberitahu bahwa adikku akan lahir. Dan benar, beberapa hari berikutnya bayi mungil bak malaikat kecil cantik hadir dalam hidup keluargaku. Satu minggu berlalu, rumahku tiba-tiba ramai oleh kehadiran sanak saudara baik yang jauh maupun dekat. Beberapa dari mereka sibuk memasak di dapur. Benakku heran melihat kegiatan itu. Setelah aku mendekat ke kerumunan, ternyata mereka sedang memasak bubur di atas kompor. Wah… aku baru ingat, setelah bayi lahr sekitar satu sampai dua minggu akan mengalami puput. Daerahku memiliki tradisi berbagi bubur saat sisa tali pusar lepas atau dikenal dengan puputan. Puput atau sering disebut dengan puputan. Setelah melihat-lihat, aku pun duduk tenang di sudut pojok dapur, melihat orang-orang sibuk mempersiapkan bubur yang telah dimasak kemudian dituang di plastik mika ukuran sedang dan ditempeli stiker cantik. Di Desa Karangreja, saat bayi puput akan menambah kebahagiaan dan dapat menjadi ajang silaturahmi keluarga. Setelah bubur dimasak, bubur akan dibagikan ke kerabat dan warga sekitar. Bubur memiliki dua macam warna, merah dan putih. Bubur putih dibuat dari campuran beras, santan, dan garam. Sedangkan bubur merah dibuat dari campuran yang sama,dengan tambahan gula merah. Dahulu, aku kira bubur hanyalah makanan penghilang rasa lapar saja. Namun, ternyata ada nilai filosofi yang terkandung di dalamnya. Bubur merah pada budaya puputan ini melambangkan darah, keberanian, dan kekuatan. Sedangkan bubur putih melambangkan kelahiran bayi yang masih suci atau kemurnian. Jika keduanya digabungkan, bubur merah putih menyimbolkan doa orang tua untuk anaknya yang baru lahir, agar selalu selamat dan mendapatkan keberkahan . Pengetahuan tentang filosofi bubur merah putih aku dapatkan saat aku di bangku SMP, dahulu aku hanya mengetahui bubur merah putih itu adalah makanan yang ada rasa asin dan manisnya saja. Saat pembagian bubur, aku pun ikut membagikan kepada lingkungan sekitar rumahku. Aku sangat senang ikut berbagi makanan kepada orang lain, walaupun sedikit lelah tapi ada rasa bahagia karena dapat berbagi rezeki. Mika yang ditempel stiker berisi nama bayi, untaian doa, foto bayi, dan nama orang tua menjadi sumber informasi bagi masyarakat sekitar untuk mengetahui tentang pedatang baru di daerah ini. Budaya ini memiliki banyak manfaat, berbagi rezeki, saling mendoakan, dan keharmonisan warga semakin lekat. Dari tradisi ini, aku belajar bahwa kebahagiaan dan keharmonisan ternyata dapat diciptakan dari hal sederhana. Harapanku semoga budaya puputan selalu dijaga dan dilestarikan agar anak bangsa generasi muda mendatang tahu akan budaya ini. Anindya Akifah Naila – SMP Negeri 1 Karangreja – 8 Tulisan ini telah dilombakan dan menjadi juara 1 0ada Ajang Lomba Menulis Pengalaman Pribadi Budaya di sekitar Kita KAHARSA FEST 2025 MUSEOUM PROF DR R SOEGARDA POERBAKAWATJA









0 comments:
Post a Comment